Pages

2.28.2011

Almost.

Teruntuk kakakku,


Selamat...


Telah berhasil melakukan yang terbaik...






Membanggakan,


Satu kata singkat menggambarkan dirimu,,






Aku tau,


Tak mudah.


Tapi aku lebih tau,


Tak sulit untukmu bisa melewatinya.






Jangan berhenti.


Masih banyak yang menunggumu untuk kau perjuangkan...


Masih banyak bahagia yang menantimu untuk kau rangkul...






Dan masih banyak kata yang seharusnya kuucapkan.


Tapi tak disini.


Dan tidak sekarang.






With Love,

Representasi Dukamu?





Aku tak ingin menulis lagi jika semua tentang luka.


Luka yang lahir dari kata-kata kasarmu.






Semua percuma kau bilang?


Mungkin hanya tak sesuai pengharapanmu saja,wahai makhluk sempurna!






Coba rengkuh hatimu yang beku itu,


Lihat betapa banyak luka disana...


Luka yang kau simpan sendiri hingga akhirnya membusuk menjadi duka.






Salahku,


Mengharap sesuatu yang benar namun bukan pada orang yang tepat.


Ya,


Aku memang yang lebih bodoh dari keadaan yang kau cipta.






Cinta?


Jangan tanyakan lagi hal itu padaku.


Sudah mengendap jadi lara yang berwujud nelangsa dan bersuara derita.






Aku tak ingin menulis lagi jika semua tentang luka.






Jika ini yang kau pertanyakan,


Ini bukan luka, duhai makhluk sempurna.


Ini representasi lain dari pengharapanmu yang kumusnahkan!






Aku muak!

2.27.2011

Kupertanyakan.




Ini bukan lagi hanya luka.


Ini duka.


Luka yang terasa, sehingga menjadi duka.






Semua yang kau lontarkan benar adanya,


Lalu,


Mengapa harus aku mengalami duka ini?






Kenyataan,


Tak bisakah kau sedikit berdusta untuk tak membuat luka?


Tak bisakah luka yang ada tak kau simpan menjadi duka?






Kenapa?


Kenapa harus hari ini?


Tak bisakah kemarin?


Taun depan?


Atau bahkan..


Tak usahlah kau adakan kenyataan ini...






Egois?


Ya, aku memang egois.


Aku kan mencontohmu, wahai kenyataan...


Egois membeberkan semua duka...


Egois memaparkan semua bahasa luka...






Sudah! Sudah!


Aku cukup lelah dengan semua elegi ini.


Aku ingin mata ini terpejam, sejenak.


Sungguh, hanya sejenak.


Untuk selanjutnya kulanjutkan duka ini menjadi apa yang seharusnya kau lihat.

Tentang Pagi Itu.

Luka,
Bukankah sering terasa?
Lalu,
Mengapa kembali kupertanyakan.

Aku,
Sang pemilik luka,
Mencoba merangkak menelusuri cintamu.
Masih dapatkah?

Aku tahu,
Semua yang kudapatkan tak lain karna pembalasan atas dosaku.

Lalu, mengapa luka itu masih saja terasa perih menggores hati?
Karna adamukah?

Mungkin.

2.26.2011

Retorik.

Aku benci cinta.

Tentang cinta.

Kata cinta.

Cerita cinta.

Puisi cinta.

Bahasa cinta.

Rayuan cinta.

Warna cinta.

Dan tentang apapun tentang cinta.



Lalu,

Mengapa aku masih menyebut cinta


 

2.20.2011

[Luka]

Aku,

Hanya seorang penyimpan luka,

Pengendap lara,

Pelarut nelangsa...



Ada gores tanpa balutan.

Entah dimana,

Hanya representasinya yang ku tahu ada.

Disudut mata ini.



Yang kutakutkan terjadi,

Saat duka mengetuk hati,

Saat hampa memasuki jiwa,

Saat airmata mengusir cita.



Aku takut,

Takut berburu dengan lara.

Aku takut,

Takut luka itu kembali menganga.



Pecundang luka. 

 

2.16.2011

Mengertilah

Bahkan...

Dalam keterpurukan ini aku tetap setia menulis untukmu...

Tidakkah kau tahu,

Aku mencintaimu

Seperti kata yang tak sempat kulisankan...

Seperti kenyataan yang berlarian dengan keinginan...

Seperti nelangsa yang coba kupautkan kedalam bahagia...



Tak bisakah kau mengerti?



Bagaimana kau mengerti,

Jika telinga sempurnamu tak kau gunakan untuk mendengar,

Jika mata sempurnamu tak kau gunakan untuk melihat,

Terlebih...

Jika hati sempurnamu tak kau gunakan untuk merasa...



Semua bahasa tanpa kata,

Semua kebaikan tanpa laku,

Semua alunan nada tanpa suara,

Tetap bisa terasa jika kau mau...



Mau mencintaiku... 

 

2.15.2011

Surat Cinta Untuk Sang Kekasih Harapan


Tanpa kusadari dan kuperdulikan, banyak orang yang memijakkan harapannya didepan rumahku. Pagi, siang, sore, sampai malam menyergap. Mereka bergantian selalu setia menemani jalan depan rumahku dengan meneriakkan dagangannya atau memukul sesuatu untuk menandakan kehadiran mereka. Dengan harapan ada orang yang memanggilnya agar supaya mereka dapat pulang kerumah lebih cepat... Supaya mereka bisa melihat keluarganya bahagia dengan hasil keringat yang mereka bawa...
Apakah hidup mereka sulit? Aku pastikan ya, tapi mereka tidak hanya merasakannya, mereka bergerak untuk memperoleh rupiah demi rupiah yang sekarang semakin langka karena keserakahan antek-antek setan berwujud manusia, yang sedang larut dalam kamuflase nyamannya harta dan tahta yang disalahgunakan... Mereka sadar, bahwa harapan bukan hanya untuk dirasakan keberadaannya, namun juga untuk diperlakukan sebagai kenyataan, oleh karena itulah mereka bekerja...
Lihatlah... mereka tidak malu berteriak “sayur...!” atau “rujak...!”, karna teriakkan itu adalah pekikan harapan hidup mereka... Mereka tidak takut siang yang terik dan malam yang mencekam, karna siang dan malamlah yang menjadi saksi genggaman harapan mereka. Pun mereka berusaha tidak marah saat sang pembeli memarahi atau mengeluhkan pelayanan mereka, karna mereka tahu pembeli adalah raja, walaupun dunia lebih tau kalau tidak ada raja yang akan membeli dagangan mereka.

Tuhan...
Nikmat mana yang kudustakan...???
Tak pernah aku berteriak lantang menyebutkan “sayurr..!” atau “rujak...!”, pun berjuang mempertahankan harga untuk memekikkan harapanku...
Tak pernah aku harus kepanasan dibawah teriknya matahari, pun kedinginan dikala malam datang untuk menggenggam harapanku...
Sampai hari ini, saat aku baru menyadari itu semua...
Sadar bahwa banyak orang yang kulihat berjalan melewati rumahku setiap hari...
Bukan hanya untuk berteriak sia-sia, melainkan untuk menjemput rizkimu...
Sadar bahwa aku pun harus memulai mewujudkan harapanku...
Walau tak sekuat dan seteguh mereka, akan kumulai dari sini, dari tulisan ini...
Bismillahirrahmanirrahim...



Ditulis untuk mereka, para pemekik dan penggenggam harapan...
-Terimakasih telah bersuara lantang untuk menggetarkkan harapanku-
Mas-mas Penjual Bacang Mas-mas Penjual Koran Mbak Penjual Kue Bapak Penjual Bubur Bapak dan Ibu Penjual sayur Nenek penjual sapu Bapak tukang jahit Abang tukang ketoprak Bapak penjual gado-gado Bapak penjual bubur kacang hijau Mas-mas penjual es krim Abang tukang rujak Bapak penjual rujak bebek Bapak penjual asinan Abang tukang somay Abang tukang bakso Abang tukang mie ayam Mbak penjual bubur sumsum Bapak penjual bajigur Abang Tukang nasgor Abang tukang sate Bapak penjual sekoteng
Serta...
Para Tukang Sampah
Para peminta sumbangan
Para pengamen
Para pemulung

Yang mencintai dunia dari sisi lainnya...

2.07.2011

Beliau.

Lihatlah perempuan itu...

Apakah ia bahagia menjalani hidupnya yang berat itu...?



Lihatlah perempuan itu...

Apakah ia selalu tersenyum ditengah kesulitan hidupnya seperti yang kulihat setiap harinya...?



Lihatlah perempuan itu...

Memikul beban keluarganya seorang diri...

Tanpa belahan jiwa disampingnya...

Tanpa keluarga hangat yang akan memelukanya dikala ia sedih...



Lihatlah ia...

Seorang perempuan yang berada ditengah-tengah kita...

Jangan menutup mata atasnya...



Ditulis saat seorang penjual sapu melewati rumah hangatku...



-Aku Bersyukur Dengan Hidupku Tuhan- 

2.05.2011

[...]

Pernahkah kau merasa rindu sampai raga tak lagi mau berdiri tegar...?

Pernahkah kau merasa rindu sampai jiwa merintih nelangsa...?

Pernahkah kau merasa rindu sampai ruh seperti menghilang dari jiwa dan raga...?



Pernahkah kau merindukan dia yang tak pernah kau ketahui keberadaannya?

Keadaannya...?

Sehatkah, Sakitkah, Amankah, Sengsarakah,

Atau...

Setidaknya mengetahui ia masih bernafas ditengah kerinduannya padamu jua..?



Aku sedang merasakannya,

Merasakan rindu yang menyesakkan dada,

Menguras emosi jiwa,

Dan menciptakan duka yang begitu mendalam,



Tak ada yang aku ingin ucapkan padanya,

Walau sekedar kenyataan bahwa aku merindukannya...



Tak ada yang aku ingin lakukan padanya,

Walau sekedar menikmati pelukkan yang tak pernah kudapatkan darinya...



Tuhan...

Aku hanya ingin tanda-Mu bahwa ia masih kau beri kesempatan untuk hidup, sama sepertiku...



Tuhan...

 
“Aku ...”

Ditulis dengan keramaian sebuah ruang rindu untukmu yang mencintaiku tanpa cinta...
 

2.04.2011

[SesaL]

Pernah aku merindukanmu hingga habis lembaran kertas untuk menuliskan kata rindu.

Pernah aku memimpikanmu hingga habis detik demi detik malamku mewujudkan bayangmu.


Pernah aku menyayangimu hingga gila ku kau buat.

Pernah aku mencintaimu hingga jenuh pun tak mau lagi singgah.

Harusnya rindu, mimpi, sayang, cinta itu hanya 'pernah' bukan 'masih' untuk akhir untaian kata-kata ini...





Ditulis dengan asa yang tersisa.